Tidak terlihat lagi mawar senja di trotoar sana..


Tidak terlihat lagi mawar senja di trotoar sana..

Lama aku tidak melewati jalan ini.. jalan yang sering kulewati di setiap pagi kala itu aku SD hingga SMA.. jalan trotoar di persimpanagan jalan dekat alun-alun kota.. persimpangan jalan A.Yani dan tentara pelajar,, dekat dengan SD 4 Wonosobo,, sekolahku dulu tempatku menuntut ilmu.. jalan yang tidak pernah sepi dengan kegiatan.. jalan trotoar yang juga selalu ramai dengan kegiatan pejalan kaki, yang sedang menunggu angkutan kota,, yang sedang berolahraga joging santai maupun yang hanya lewat tanpa tujuan. Hingga mobil pedagang buah yang berderet  menjajakan dagangannya kepada orang-orang  yang silih berganti melewati kios-kios dagangannya. Mobil-mobil dan kendaranan bermotor lainnya yang melintas di jalan itu semakin menambah keramaian di situ dengan deru suara mesinnya yang memekakan telinga..

Namun dulu di jalan itu,, di pinggir trotoar sana ada sesosok nenek yang selalu kuperhatikan tiap kali kumelewati jalan itu.. sosok nenek yang sudah beranjak lanjut usia,, berkisar 70 tahun umurnya selalu terlihat sedang khusu’ membuat kue serabi di sebuah tungku kayu bakar di depannya.. tangannya sungguh terampil mencetak adonan ke dalam sebuah cetakan tanah liat berbentuk mangkuk.. beliau menunggu hingga sisi bawahnya setengah matang lalu beliau masukkan gula ke dalam serabi itu.. setelah matang,, beliau balik cetakan itu untuk disajikan di daun pisang yang tidak terhitung berapa lembar banyaknya.. begitulah,, beliau mengulang-ulang membuat serabi..

Tidak hanya sosoknya yang membuat hati ini tersayat melihatnya,, sosok yang lemah lanjut usia seperti sebuah senja yang temaram menuju gelap malam.. tubuhnya yang sudah terlihat tanpa daya,, dan kerutan di wajahnya yang menunjukkan telah lanjut usia.. namun tetap bekerja,, tanpa bosan mencari nafkah untuk keluarga.. dengan sabar duduk di jengkok kayu kecil dan menjajakan kue serabi di pinggiran trotoar.. aku tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya nenek itu apalagi ketika teriknya matahari menerpa wajah senjanya..Ketika itu aku hanya bisa memperhatikan.. membayangkan jika beliau nenekku maka aku akan memintanya jangan bekerja membanting tulang seperti itu..

hati ini bertambah iba,, ketika nenek itu hanya duduk termenung menunggu seorang yang bersedia membeli serabi-serabi yang telah dengan sabar dibuatnya.. hati benar-benar iba melihat daganagan nenek itu tak kunjung laku,, padahal serabi2nya telah siap saji untuk dijajakan pada pembeli.. namun lalu lalang orang-orang seperti tidak memperhatikan ada pemandangan miris di hadapan mereka.. mereka hanya sibuk untuk memikirkan kegiatannya,, mempercepat laju motornya untuk mengejar waktu secepatnya, atau sibuk dengan ponselnya, sibuk mengeluh menunggu angkot lama, berjalan terburu untuk sampai di tempat tugas secepatnya, dan lain sebagainya.. tidakkah mereka semua melihat ada orang tua di pinggir trotoar sana hanya bisa termenung melihat mereka, mungkin teringat anak dan cucunya, entahlah.. dan lagi-lagi aku hanya bisa menyaksikan pemandangan itu, sambil menunggu angkutan kota bercat kuning berpleret hitam atau ungu melintas mengantarkanku untuk menuntut ilmu..

suatu pagi, aku dan ayahku membeli kue serabi bikinan nenek itu.. enak,, sungguh enak.. harganya pun cukup murah.. gula merahnya yang legit lumer ketika digigit,, gurihnya adonan serabinya pun pas.. membakar serabinya pun baik, tidak terlalu gosong di sisi kulitnya..
yang aku pertanyakan mengapa kue serabi itu tidak terlalu laku,, padahal cita rasanya enak, orisinil dan cara memasaknya pun tradisionil.. mungkinkah orang-orang lebih memilih membeli kue serabi yang dijual di toko roti ketimbang mebeli dari pembuatnya sendiri.. kenapa?? Apa karena tempatnya di pinggir jalan dan kuenya tidak ditutup.. apa khawatir ada kotoran yang masuk karena letaknya juga yang tidak jauh dari jalan yang biasa dokar lewati?? Atau mereka sepele karena sedarhananya peralatan yang digunakan?? Hanya ada sebuah cetakan serabi dan sebuah tungku yang digunakan untuk memasak kue serabi, lalu satu wadah adonan dan sebuah bangku yang digunakan nenek itu untuk duduk menunggu si pembeli yang bersedia datang.. sederhana bukan.. 

aku amat kagum pada beliau,, dedikasi tingginya terhadap pekerjaan.. tidak peduli usia senja telah menjelang, beliau tetap sabar dan gigih menjalani pekerjaan.. tidak peduli laku atau tidak beliau tetap hadir di setiap pagi selepas subuh menjajakan dagangan.. mempertahankan kue tradional dengan pembuatan yang amat tradisional pula.. di tengah ngetrennya,, nugget, tempura, bakso berformalin yang tidak sehat..

namun kini,, lama aku tidak menjumpai di mana mawar senja di pinggir trotoar sana.. ada apa gerangan,, di mana perginya nenek yang senantiasa dengan tekun membuat kue serabi dan dengan sabar menunggu pembeli.. entahlah,, kemana perginya nenek yang selalu berpakaian kebaya dan berjarik itu,, dengan kain yang dililit menutupi rambut putihnya.. oh,, mawar senja kemana perginya?? Aku rindu dengan legit serabi bikinanannya..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG..

Tentang dua kata,, polos & lugu..

TENTANG SEBUAH BUKU "BERJUTA RASANYA"..